Tiga Srikandi Pendidikan Berjuang di Lereng Slamet
TIGA perempuan berjilbab menyusuri
jalan berbatu di lereng Gunung Slamet yang menanjak di Dusun Pesawahan, Desa
Gununglurah, Cilongok, Banyumas. Mereka adalah Lisnaevi Yuliatun M (27),
Fatihatullaeli (31) dan Eka Fitriani (20). Ketiganya adalah tutor di sebuah
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di desa itu.
Lokasi sekolah untuk menularkan ilmu,
terletak di tengah-tengah perkebunan lahan milik Perhutani. Bangunannya pun sangat
sederhana. Lahan yang digunakan hanya berukuran 4x8 meter, lebih kecil
dibanding rumah tipe 27. Dindingnya masing menggunakan tripek yang
berlantaikan plester semen, seperti barak proyek. Di halaman sekolah juga tidak
ada papan nama yang menunjukkan keberadaan PAUD tersebut.
Di halaman kelas sudah terdapat
anak-anak. Sebagian sudah berseragam biru muda dan sebagian lagi pakaian bebas.
Bersama orang tuanya, anak-anak itu menunggu ketiga tutor datang ke sekolah.
PAUD itu didirikan tiga tahun lalu
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Argowilis Desa Sokawera, Cilongok, untuk menampung anak-anak di pegunungan agar
dapat memperoleh pendidikan usia dini. “Di sini masih banyak anak-anak usia 0-6
tahun yang belum tersentuh pendidikan. Padahal pendidikan sekarang sangat penting
terutama untuk membentuk karakter anak di usia dini,” kata Evi.
Pada tahun pertama didirikan, jumlah
anak yang belajar di tempat itu mencapai 35 anak, kemudian pada tahun kedua
jumlahnya berkurang menjadi 27 anak. Tahun ini, sekolah itu baru mendapat 10
anak. Berkurangnya jumlah murid karena anak-anak tersebut sudah dapat belajar di Tanam Kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD)
di Desa Sambirata dan Gununglurah.
Mengacu Kurikulum
Selama proses kegiatan belajar
mengajar (KBM), para tutor tetap mengacu pada kurikulim yang disepakati
Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Kabupaten Banyumas. Proses KBM
mulai dari pukul 08.30 hingga 11.00. Walau demikian, praktikum untuk
mengimplementasikan pelajaran tidak seperti PAUD pada umumnya karena tempat
pendidikan ini tidak memiliki alat peraga.
Para murid mengimplementasikan praktik
pelajaran dengan memanfaatkan alam lingkungan sekitar. Ketika belajar tentang sayuran, mereka
diperkenalkan cabai, kecipir dan jagung. Sedangkan untuk kegiatan luar sekolah,
mereka biasanya berekreasi ke Purwokerto seperti Stasiun Kereta Api maupun
Museum Panglima Besar Jenderal Soedirman Karanglewas.
"Kami tidak memiliki alat
peraga dan bermain sehingga memanfaatkan alam dan lingkungan sekitar halaman
sekolah," kata penyelenggara PAUD dari LSM Argowilis Desa Sokawera,
Mohammad Toha.
Meski demikian, keterbatasan alat
peraga tak lantas membuat ketiga srikandi pendidikan kehilangan motivasi. "Semangat para siswa yang membuat kami
tetap bertahan untuk memberikan pelajaran kepada mereka," kata Eli.
Para
tutor itu juga mengaku tidak terlalu memikirkan pendapatan yang diperoleh dari
mengajar. Mereka menyadari keterbatasan ekonomi warga sekitar yang umumnya
berprofesi sebagai petani dan buruh serabutan. Untuk operasional PAUD mereka
hanya mengandalkan uang sukarela dari para orang tua murid.
"Kami tidak menarik uang kepada
wali murid, tapi pada tahun ajaran kedua orang tua murid sadar. Mereka
bermusyawarah tanpa melibatkan para tutor dan kemudian memberikan iuran Rp 20
ribu/anak/bulan," terang Evi.
Uang itu pun tidak selalu ada
seratus persen setiap bulan. Dari puluhan orang tua murid, paling banter hanya
tujuh orang tua yang memberi iuran PAUD. Oleh tutor, uang tersebut digunakan
untuk arisan lembaga Rp 10 ribu, iuran penyelenggara Rp 7 ribu, iuran ke
lembaga PAUD kabupaten Rp 2.500 dan iuran lembaga di tingkat kecamatan Rp 10
ribu.
"Rata-rata pengeluaran tiap
bulan Rp 29.500. Lebihnya untuk membeli alat tulis kantor dan upah tutor. Tapi
kalau iuran kurang, kami meminta tambahan dari penyelenggara PAUD," terang
ujar perempuan berjilbab itu.
Sosialisasikan
Pendidikan
Kendala yang kerap dialami ketiga
tutor dan penyelenggara PAUD adalah ketika memasuki musim panen padi. Pada
musim itu, para orang tua murid terpaksa tidak bisa mengantar anaknya karena
harus bekerja sebagai buruh tani. Akibatnya, anak tidak masuk sekolah karena
tidak ada yang mengantar.
"Kadang murid bisa tidak masuk
sampai tiga hari, bahkan ada yang sampai seminggu. Tapi kami memaklumi kondisi
mereka. Kami terus berupaya memberikan pemahaman secara persuasif kepada orang
tua tentang pentingnya pendidikan untuk anak," katanya.
Pendekatan dengan hati dalam
menyosialisasikan pendidikan anak usia dini perlu diutamakan lantaran sumber
daya manusia (SDM) warga di dusun itu berbeda dengan warga yang berada di
wilayah lain. Berdasarkan hasil sensus tim LSM Argowilis 2012 di Dusun
Pesawahan, terdapat 100 kepala keluarga dengan jumlah 305 jiwa. Ratusan
penduduk itu umumnya berpendidikan rendah. Rinciannya, 120 orang tidak lulus SD
alias drop out (DO) di kelas 1, 2, dan 3, lulusan SD 54 orang, lulusan SLTP
sederajat 3 orang dan lulusan SLTA sederajat
2 orang.
"Kami terus menyosialisasikan
PAUD agar kesadaran mereka makin terbangun. Apalagi berdasarkan pengakuan
sejumlah guru SD, murid dari Dusun Pesawahan yang masuk SD bisa cepat menangkap
pelajaran setelah mereka mengikuti proses belajar mengajar di PAUD," katanya.
Hal tersebut berbeda jauh saat di
dusun itu belum ada PAUD. Sebab, sebagian anak-anak langsung dimasukkan ke SD
tanpa melalui proses belajar di PAUD maupun TK.
"Biasanya warga langsung
menyekolahkan ke SD karena usianya sudah memenuhi syarat, yakni antara 7-8
tahun. Padahal, mereka sama sekali belum bisa menulis maupun membaca. Sebagian
orang tua juga tidak melatih anaknya membaca dan menulis kepada anak-anak
mereka, karena orang tuanya buta aksara," paparnya. (63)
Komentar
Posting Komentar