Memperbaiki Mental dan Fisik

dokumen pribadi

- Filosofi Gotong Royong Mengganti Pagar Bambu

WARGA Desa Cikakak Kecamatan Wangon, Banyumas, Jawa Tengah setiap tahun rutin melakukan gotong royong mengganti pagar bambu (jaro) di lingkungan Masjid Saka Tunggal dan Makam Ki  Ageng Tolih. Penggantian jaro biasanya dilakukan untuk menyambut hari Isro Mi'roj setiap bulan Rajab pada penanggalan Arab, tepatnya tanggal 26 Rojab pada penanggalan Jawa.

Pada momen itu, warga desa setempat secara sukarela menebang bambu dari kebun mereka, membersihkannya di sungai dan menjadikannya pagar baru. Mereka akan mengadakan doa dan syukuran apabila seluruh pagar bambu telah rampung diperbaharui.

Penggantian jaro ini merupakan budaya adat desa setempat sejak peninggalan nenek moyang dan merupakan Mahakarya Indonesia yang patut dipertahankan dan merupakan kearifan lokal yang harus terus dijaga kelestariannya.

Dalam kegiatan ini warga bergotong-royong tanpa di komando. Mereka membagi tugas masing-masing seperti mereka yang melaksanakan tugas mengganti jaro, sedangkan warga lainnya menyumbangkan makanan hasil bumi.


dokumen pribadi
Pada saat membuat dan memasang jaro tersebut, mereka puasa bicara. Tidak  sepatah kata pun terucap dari bibir hingga waktu yang ditentukan. Biasanya mereka puasa bicara dari pukul 07.00 hingga azan zuhur berkumandang.

Puasa bicara bukannya tanpa tujuan, namun mempunyai filosofi: lebih baik bekerja daripada banyak bicara. Selain itu, budaya mengganti jaro ini sebagai upaya spiritual untuk membersihkan jasmani dan rohani.

Dengan kata lain, mengganti jaro lama dengan jaro baru supaya tampilanya bersih dan menggambarkan manusia agar bersih mental dan fisiknya. Sehingga umat Islam dapat membentengi jasmani dan rohani dari hal-hal yang dilarang agama.


dokumen pribadi
Penggantian jaro selalu menyedot perhatian warga dari luar desa, bahkan warga luar kota pun kerap penasaran dengan kegiatan tersebut. Selain ingin mengetahui secara detail peran warga dalam menanamkan rasa kegotong royongan, kawasan Masjid Saka Tunggal merupakan pusat wisata reliji.

Sosok Ki Ageng Tolih adalah orang pertama yang bermukim di daerah itu. Ia  datang ke Desa Cikakak pada 1522. Ki Ageng Tolih mendirikan masjid bernama Saka Tunggal sebagai pusat penyebaran agama Islam.

Ki Ageng Tolih hidup dalam masa Kesultanan Mataram Kuno. Karena masih awal, Islamnya pun masih bercorak kejawen. Sampai sekarang, sinkretisme agama masih berlangsung. Selain melaksanakan ajaran agama Islam, penduduk percaya ada Sang Liyan yang melindungi mereka.

Corak arsitektur Masjid Saka Tunggal unik. Di dalam masjid seluas 30 x 40 meter itu hanya ada satu tiang penyangga (saka tunggal) setinggi 12 meter. Tiang itu penuh dengan ukiran bermotif daun dan bunga berwarna hijau, kuning dan merah. Atap masjid berbentuk joglo, tapi beratap ijuk.    

Tak hanya keunikan corak arsitektur dan sejarah pendirian Masjid Saka Tunggal, di kawasan tersebut juga banyak dijumpai monyet. Monyet-monyet kerap turun di lingkungan masjid sehingga melengkapi keindahan wisata reliji. Pada momen-monen besar kawasan wisata tersebut dikunjungi oleh para wisatawan lokal. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biaya Hidup di Purwokerto Makin Tinggi (2)

Kemudahan Akses Informasi Mendorong Ekonomi Nasional

Galeri Kemeriahan Memperingati HUT RI ke - 70