Dasar Sontoloyo!

HUJAN Minggu sore seharusnya menjadi suasana romantis. Paling tidak untuk pasangan suami istri. Menikmati rintik hujan dari jendela rumah. Menikmati desau angin yang telah mendinginkan raga ini.

Namun Minggu sore itu menjadi hari kelabu. Hari yang seharusnya romantis menjadi hari penuh perkara!. Suasana dingin seketika menjadi gerah. Penuh dengan rasa emosi.

Ini bermula dari obrolan di whatsapp grup Rukun Tetangga (RT) di tempat tinggal kami. Sore itu di grup ramai membahas rencana menjenguk orang sakit. Orang sakit itu salah satu warga RT kami. Di grup WA telah memunculkan diskusi panjang. 

Singkat kata, akhirnya disetujui menjenguk menggunakan microbus. Jarak antara tempat tinggla kami dengan rumah sakit sekitar 30 kilometer. Biaya kendaraan ditanggung dengan cara patungan. Warga RT rombongan ke rumah sakit. Kami juga diajak. Hanya saja kami tidak ikut rombongan.

Kami kebetulan sedang di Purwokerto menikmati rintik hujan dan desau angin yang telah mendinginkan raga ini di kantor. Setelah rombongan warga RT berangkat, istri pulang mengantarkan ponakan ke rumah. Sekalian mengambil sepeda motor.

Saya menyusul kalau istri sudah di rumah sakit. Bersama rombongan warga RT. Nanti kalau sudah di sana, bunda hubungi ayah, begitu pesannya. Aku pun mengiyakan dan menunggu dari kantor.

Selang 45 menit, rombongan sudah sampai di rumah sakit. Istriku juga sudah di rumah sakit. Mengabari supaya aku segera menyusul. Rombongan tidak lama di rumah sakit. Apalagi membawa anak kecil yang dilarang masuk rumah sakit.

Aku pun segera pesan ojek berbasis aplikasi. Pemesanan tidak langsung diambil. Hampir 5 menit belum ada respons. Mungkin driver malas karena sedang hujan. Beberapa driver meminta membatalkan pesanan dengan alasan jauh dari lokasi penjemputan.

Istri kembali telpon. Berkali-kali. Meminta supaya aku cepat ke rumah sakit, karena rombongan segera pulang. Aku pun menjelaskan sedang menunggu ojek. Lama belum respons.

Sepuluh menit kemudian, driver ojek datang. Kebetulan driver warga Desa Pliken. Desa yang tidak jauh dari rumah sakit. Kebetulan juga driver sudah mau pulang jadi diambil. Kalau bukan orang Pliken, mungkin tidak mengambil order penumpang.

Seperti driver lain. Lebih memilih order makanan daripada penumpang. "Saya sekalian mau pulang jadi aku ambil (orderan penumpang). Lumayan bisa untuk beli bensin, katanya. 

Hanya sekitar sepuluh menit, aku tiba di depan rumah sakit. Di depan pintu gerbang, aku menghubungi istri. 

"Aku sudah di depan rumah sakit. Bunda di mana?," kataku dalam sambungan telpon seluler.

"Parkiran ayah lurus terus mentok. Nanti bunda di situ. Kelihatan kalau dari atas," jawabnya.

"Parkiran motor ada dua. Sebelah kanan atau kiri. Parkiran yang mana nda?. Yang ke arah IGD atau rawat jalan?," kataku dengan nada setengah meninggi.

"Parkiran hanya satu. Pokoknya lurus terus sampai ke belakang. Nanti bunda nunggu di situ," jawabnya ketus pula.

Ketegangan antara dua pasangan ini mulai menjadi. Satu sama lain berdebat dan ngotot pada pendiriannya. Aku juga merasa benar kalau di rumah sakit itu ada dua parkiran sebelah kanan dan kiri. Istri juga sama. Ngotot kalau parkiran motor hanya satu. 

"Ya udah ini ayah jalan lurus. Bunda tunggu di depan ya," kataku.

"Ini kok sepi di sini. Pos satpam masih lurus terus?," sambil ngomel sendiri di sambungan telpon.

"Iya lurus. Pokoknya depan pintu perumahan," timpalnya.

"Okaii... Nda ini benar ke sini?. Kok semakin sepi ya. Ini ayah udah jalan jauh. Bunda ke sini sajalah. Pusing ayah," ketusku dengan nada kesal.

"Ya udah. Bunda turun. Ayah nunggu di depan sebelah barat," katanya yang juga mulai emosi.

"Okai cinta. Ayah tunggu di depan pintu kunjungan sebelah timur," kataku.

Aku menunggu di depan pintu kunjungan. Di pintu itu banyak lalu lalang orang. Mereka ada yang menjenguk salah satu keluarganya yang sakit. Menjenguk sahabatnya. Menjenguk saudaranya atau menjenguk kerabatnya. Banyak orang di situ. Kebetulan waktunya pas waktu jam besuk. 

"Ayah di mana. Bunda udah depan pintu gerbang. Buruan ke sini," katanya.

"Ayah sudah di depan pintu gerbang. Pintu gerbang sebelah timur. Bunda di pintu gerbang sebelah mana?," kataku.

"Bunda di sebelah pintu masuk sebelah barat. Ayah cepat ke sini," 

"Iya cinta. Ini segera merapat,"

"Lho kok ga ada nda. Bunda di mana?,"

"Di depan pintu gerbang,".

"Kok ayah ga liat bunda."

"Ayah di rumah sakit mana?..

"Di rumah sakit Margono," 

"Owalah... Bunda di rumah sakit Wiradadi,".

"Ya ampun.... Pantesan ga mungkin bisa ketemu,"


"Ha.. ha.. ha.. ha.. ha..," suara ketawa keras itu terdengar jelas sekali di sambungan telpon seluler.

Akupun tak kalah kerasnya tertawa. Sampai tak peduli dengan orang sekitar. Ternyata. Pertengkaran ini karena salah paham. Seketika itu, urat saraf yang kencang langsung turun. Emosi yang sudah membuncah seketika ambrol. 

Berubah menjadi bahan tawa. Menertawakan diri sendiri. Kita berdua tepatnya. Dalam obrolan itu hanya ketawa. Tak lagi ada pertengkaran. Satu sama lain memaklumi dengan diakhiri tertawa. Dasar Sontoloyo!       


*PS : maaf tidak dilengkapi foto 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biaya Hidup di Purwokerto Makin Tinggi (2)

Kemudahan Akses Informasi Mendorong Ekonomi Nasional

Galeri Kemeriahan Memperingati HUT RI ke - 70