Pasar Papringan Lokomotif Menuju Desa Mandiri

RAMAI PENGUNJUNG : Pasar Papringan ramai pengunjung dari luar kota, Minggu (21/10)
PAGI itu hari masih gelap. Matahari belum menampakkan diri. Namun, lalu-lalang kendaraan roda empat maupun sepeda motor kian ramai ketika memasuki jalan beraspal di Kedungumpul, Kandangan menuju Pasar Papringan di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Minggu (21/10).

Banyak kendaraan roda empat dari luar kota memadati jalan tersebut. Bahkan, berjubelnya mobil ini menjadikan jalan desa yang berjarak sekitar 5 kilometer menuju Pasar Papringan macet. Antrean panjang mobil terlihat mengular. 

Para pengunjung terpaksa harus turun dari mobil. Berjalan kaki sekitar 1 kilometer. Bagi pengunjung yang tidak ingin letih memilih naik ojek. Cukup dengan membayar Rp 5.000, pengunjung bisa cepat sampai di pasar tradisional tersebut.

Namun tidak sedikit pula pengunjung, umumnya rombongan keluarga memilih berjalan kaki. Menikmati jalan desa yang membelah sawah dengan disuguhi pemandangan apik Gunung Sindoro dan Sumbing yang terletak berdampingan.
Pengunjung berjalan kaki ke Pasar Papringan

Ketika memasuki perkampungan, terdapat papan-papan penunjuk arah menggunakan tampah. Ada pula yang menggunakan kayu. Papan penunjuk arah itu dipasang di tepi jalan. Selain menarik, papan itu memudahkan pengunjung menuju lokasi. 

Sekitar 500 meter sebelum pasar, sudah banyak warga yang menjajakan barang dagangannya di depan rumah maupun tepi jalan kampung. Makanan ringan olahan khas desa setempat maupun kerajinan, seperti irus dan centong.

Beberapa pemilik rumah di tepi jalan juga menyediakan fasilitas toilet bagi pengunjung. Pengunjung yang memanfaatkan fasilitas tersebut hanya membayar seikhlasnya, karena pemilik toilet tidak membandrol biaya buang air kecil maupun besar. Pemilik hanya menyediakan kotak di dekat toilet tanpa dijaga.

Saat memasuki jalan trasah batu dengan lebar 3 meter, pengunjung mulai disuguhi pemandangan kerimbunan pohon bambu. Suasana alam pedesaan mulai terasa. Asri dan natural. Kerimbunan pohon bambu memberikan kesejukan dan ketenteraman bagi para pengunjung.


Papan penunjuk menuju Pasar Papringan
Tepat di kompleks Pasar Papringan ternyata sudah banyak pengunjung. Padahal, jarum jam baru menunjukkan pukul 05.30 WIB. Sedangkan Pasar Paprigan buka mulai pukul 06.00 hingga 12.00 WIB.  

Mereka sengaja datang lebih awal karena harus mengantre menukarkan uang rupiah ke pring berbentuk pipih sepanjang 5 centimeter. Pring ini sebagai alat pembayaran yang sah di pasar tersebut. Satu pring setara Rp 2.000. Di lokasi penukaran uang terdapat tiga loket. Pertama penukaran uang kelipatan Rp 2.000, kemudian penukaran uang kelipatan Rp 20.000 dan kelipatan Rp 50.000. 

Di loket penukaran uang terdapat informasi harga produk. Misalnya, produk minuman dihargai sekitar 1-2 pring, makanan ringan 1-5 pring, makanan berat berkisar 3-6 pring, produk kerajinan dan hasil tani mulai dari 1 hingga 15 pring. 

"Saya berangkat dari Sokaraja, Banyumas jam setengah 5 sampai sini jam 9. Saya penasaran karena Pasar Papringan viral di media sosial. Pasarnya juga unik. Datang ke sini kita seperti diajak ke pasar tradisional tempo dulu," tutur pengunjung asal Banyumas, Fitria (29). 

Pasar itu memang sengaja dikonsep dengan tempo dulu, sehingga benar-benar terlihat tradisional yang jauh dari peradaban zaman sekarang. Para pedagang menggunakan pakaian adat yang mempresentasikan warga pedesaan. 

Barang dagangan yang dijual yaitu kuliner tradisional khas daerah setempat, seperti bubur sum-sum, sego kuning, gudeg, pecel, sego abang dan masih banyak jenis kuliner tradisional lain. Untuk jajanan tradisional seperti jali, pasung dan kroket kentang. Aneka minuman yang dijual meliputi wedhang pring, wedhang ketan, kopi, dan susu kedelai.


Berjualan alat dapur
Makanan dan minuman olahan yang dijual di pasar itu semuanya menggunakan bahan organik. Tidak menggunakan bahan pengawet, pewarna maupun penyedap rasa. Kekuatan rasa manakan olahan pada bumbu rempah-rempah.

Selain sajian kuliner, di pasar itu juga dijual hasil bumi seperti jagung, tomat, caisim, dan jenis sayuran lain. Sayuran tersebut masih sangat segar karena dipasok dari petani. Adapun produk kerajinan yang dijual ialah kerajinan mainan anak berbahan bambu. 

Ada pula yang menjual binatang ternak, seperti ayam dan kambing. Semua bisa dibeli menggunakan pring sebagai alat pembayarannya. Tak sampai di situ. Para pengunjung juga dapat menikmati permainan tradisional secara gratis, seperti ayunan dari bambu dan egrang, serta suguhan musik gamelan. 

"Di tempat lain tidak ada yang seperti ini. Ini yang membuat saya penasaran dan datang ke sini," ujar pengunjung lainnya, Agus (58).     
Tempat penukaran uang

Para pengunjung rela datang dari jauh karena Pasar Papringan tidak buka setiap hari. Pasar ini hanya buka setiap Minggu Pon dan Minggu Wage. Tak heran pasar ini selalu dinanti pengunjung baik dari Jawa Tengah maupun dari kota-kota besar lain di Indonesia. Bahkan, tidak sedikit pula wisatawan mancanegara mampir ke situ.

Para pengunjung yang datang tidak menyia-nyiakan kesempatannya berbelanja menikmati kuliner tradisional. Mereka juga memanfaatkan lokasi itu untuk berswa foto dengan latar belakang kerimbunan pohon bambu, meskipun tidak ada tempat khusus selfi. Anak-anak, orang tua maupun muda menyempatkan berswa foto. Foto-foto ini yang kemudian beredar di media sosial sehingga Pasar Papringan semakin dikenal luas.

Program Revitalisasi Desa

Keberadaan Pasar Papringan yang kini digandrungi pengunjung tidak lepas dari peran tim Spedagi. Ide dan gagasan pembangunan pasar ini muncul dari tim Spedagi. Tim ini yang mendampingi dalam mengelola Pasar Papringan sampai saat ini. 


Alat transaksi
Spedagi merupakan sebuah gerakan yang bertujuan untuk melakukan revitalisasi desa, membawa desa menemukan jati dirinya sebagai komunitas lestari dan mandiri. Komunitas itu bersama dengan Komunitas Mata Air membuka lokasi yang sebelumnya tidak dilirik kemudian direvitalisasi menjadi pasar tradisional.

Lokasi pasar seluas 2500 meter pesergi milik beberapa warga sebelumnya menjadi tempat pembuangan sampah. Jauh dari pusat keramaian. Kurang menarik. Gagasan membuat pasar juga memberikan keraguan sebagian warga. Namun, inilah yang menjadi motivasi komunitas untuk meyakinkan warga bahwa semua bisa terealisasi asalkan ada dukungan dari warga setempat.

Dari sosialisasi program secara berkelanjutan, akhirnya program revitalisasi desa mendapat respons positif. Warga rela bergotong royong mendukung pembangunan Pasar Papringan. Warga ingin menciptakan icon Pasar Papringan.

Masyarakat yang hendak menjadi pedagang, mulai dilatih cara membuat kuliner dengan bahan-bahan alami. Mengedepankan kuliner sehat khas pedesaan. Pasar Papringan dibuka pertengahan Mei 2017. Awalnya hanya sekitar 50 warga yang menjadi pedagang. 

Ketua Komunitas Mata Air, Imam Abdul Rofik, menuturkan, saat kali pertama buka, jumlah pengunjung hanya sekitar 1500 orang saja dengan nilai transaksi 20 juta. Namun, gencarnya promosi di media sosial serta informasi dari mulut ke mulut memberikan dampak luar biasa terhadap perkembangan pasar. 

Banyak pengunjung dari berbagai kota berdatangan. Dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, hingga Purwokerto. Bahkan, hingga mancanegara seperti Jepang, Jerman, Thailand dan Italia. 

Mereka penasaran ingin mengetahui pola transaksi unik nan instagramable di pasar itu. Saat ini jumlah pengunjung setiap pasar buka mencapai 3000 orang dengan nilai transaksi sekitar Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. 

Meningkatkan Pendapatan Masayarakat

Semakin dikenalnya Pasar Papringan, tentu memberikan dampak positif bagi warga setempat, terutama para pedagang pasar. Pendapatan mereka meningkat karena barang dagangan yang dijual selalu laris diborong pengunjung.


Menukarkan uang rupiah ke alat pembayaran dari pring
Penjual kopi dan gula organik kemasan, Ayis (26), misalnya. Setiap membuka lapak, ia mampu menjual barang dagangannya antara 22 hingga 50 bungkus. Harga satu bungkus Rp 22 ribu. Pendapatan ini jauh lebih tinggi daripada pendapatan menjual produk secara online

"Di sini buka mulai pukul 06.00 - 12.00. Tapi belum jam 12 sudah habis. Karena sebelum buka sudah banyak warga datang di sini. Jam 05.00 sudah ramai pengunjung," tuturnya.

Ia meyakini jumlah pengunjung selalu meningkat. Minat masyarakat berkunjung karena penasaran. Bahkan, sebagian pengunjung yang telah berkunjung akan berkunjung lagi dengan keluarganya. 

Pedagang jajanan tradisional, Mudinah (55) mengaku bersyukur dengan banyaknya pengunjung, barang dagangannya laris terjual. Pendapatannya meningkat. Ini jauh berbeda ketika belum ada Pasar Papringan. Ia hanya bekerja sebagai buruh tani. Kadang pula ia mencari pasir. Biasanya untuk memperoleh satu rit pasir membutuhkan waktu tiga hari. Satu rit pasar dihargai Rp 150 ribu.

Namun, saat ini setiap minggu rata-rata Mudinah mampu memproleh pendapatan bersih 600 ribu. Itu sudah dipotong untuk operasional pasar 15 persen dan 10 persen untuk tabungan. Uang tabungan ini dapat diambil setiap tahun sekali.

Mbah Tilah (54), pedagang lainnya menimpali. Selain dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, para pedagang berperan melestarikan jajanan tradisional. Ini dapat memberikan pemahaman bagi generasi muda zaman sekarang. Pedagang mengenalkan lagi ragam jajanan tradisional.

"Kami ikut melestarikan jajanan tradisional dengan menggunakan bahan alami. Tidak ada pewarna buatan. Jajanan di sini sehat," ujar dia.   

Ayis yang juga relawan pengembangan Pasar Papringan, kembali mengatakan bahwa pasar bukan tujuan utama. Tujuan secara keseluruhan revitalisasi desa. Pasar ini hanya sebagai stimulan saja. 


Menjual hasil pertanian
Namun, ia mengaku sangat senang dengan keberadaan Pasar Papringan. Terlebih perkembangannya sangat pesat dan mampu mendatangkan pengunjung dari berbagai kota di Indonesia.

"Ini salah satu cara kreatif yang bisa menjadi virus di daerah lain. Sebagai warga desa, mereka bisa kembali ke desa untuk meningkatkan potensi di desa. Kita harus menjaga kearifan lokal yang sudah ada di desa sejak dulu. Harapan ke depan masyarakat sadar untuk kembali hidup sehat dan orang desa yang dapat mengembangkan potensi di desa karena banyak sekali potensi desa," kata relawan yang mengajar pelajaran Bahasa Inggris kepada warga setempat.

Kini kolaborasi dalam menjaga kearifan lokal melalui, kuliner, seni, budaya, sosial masyarakat yag dikemas secara kreatif melalui revitalisasi desa menciptakan Pasar Papringan yang nantinya menjadi lokomotif menuju desa mandiri dan lestari. (Puji Purwanto)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biaya Hidup di Purwokerto Makin Tinggi (2)

Kemudahan Akses Informasi Mendorong Ekonomi Nasional

Galeri Kemeriahan Memperingati HUT RI ke - 70