Menyapa Kesejukan Alam Pedesaan

AHAD menjadi hari yang selalu ditunggu-tunggu oleh anakku, Qasdina (5,5). Sepulang sekolah, ia selalu minta main ke tempat mbah di Desa Sokaraja Wetan, Kecamatan Sokaraja. 


Ia mengajak jalan pada Sabtu siang. Kalau jalan siang, waktunya lebih lama. Bisa jalan-jalan di Purwokerto dulu. Baru sore hari ke tempat mbah. Jarak antara Purwokerto dengan Sokaraja sekitar 20 menit. Cukup dekat ditempuh menggunakan sepeda motor.

Sesampainya di rumah mbah, Qasdina juga bilang supaya dibangunkan pagi hari. Biar tidak kesiangan. Mau bersepeda, katanya. Bersepeda keliling desa!. Bertiga. Qasdina, ayah dan bunda.

Tepat pukul 05.00, alarm alami bunyi. Alarm itu dari suara jago di belakang rumah dekat kamar mandi yang berkokok. Berkali-kali hingga membangunkan orang tidur di rumah. Tapi aku tak terbangun. Masih berselimut. Meringkuk. Memeluk bantal guling. 

Namun, saat masih tertidut bumi seperti guncang. Raga yang masih terlelap ikut terguncang. Guncangan makin keras. Sampai terbangun. Setelah mata pelan-pelan terbuka, ternyata guncangan itu bukan gempa bumi!. Tapi Qasdina yang terlalu bersemangat membangunkanku, he..he..he..

Aku pun bangun. Minum air putih. Cuci muka dan buang hajat kecil di kamar kecil. Isteriku yang biasa bangun agak siang menikmati hari libur, terlihat telah bersiap diri. Sudah memakai baju setelah trening lengkap dengan sepatu kets. 

Qasdina juga sudah sibuk sendiri. Menyiapkan sepeda di samping rumah. Sepeda mini yang dibelikan sama mbah kakung. Sepeda warna kombinasi pink dan putih. Warna kesukaannya. 

Mari Bersepeda Keliling Desa!

Kami bertiga membuat kesepakatan sebelum memulai bersepeda. Menentukan rute jalan yang hendak ditempuh. Jalan menyenangkan yang jauh dari lalu lalang sepeda motor dan mobil. Jalur yang sedikit terbebas dari polusi asap kendaraan. Dan yang pasti rute menyenangkan!. 

Disepakati bersama mengambil jalur ke arah utara. Dari rumah, tepatnya di Dusun Karanggedang menuju utara jalan beraspal. Melintasi jalan yang membelah persawahan. Udara masih sejuk. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul 06.00 WIB. 

Ketika cuaca sedang cerah, kalau melihat ke utara akan mendapati pemandangan puncak Gunung Slamet. Indah sekali. Gunung yang memiliki ketinggian 3.428 meter dpl. Gunung tertinggi di Jawa Tengah dan kedua tertinggi di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru. 

Dari arah Karanggedang, kami menuju ke Desa Kalicupak Lor, Kecamatan Kalibagor. Melintasi jalan dengan pemandangan persawahan. Setelah melintasi sekitar 1 kilometer, baru kami masuk ke jalan gang desa. Kompleks perkampungan. 

Di situ mendapati aktivitas masyarakat desa pada pagi hari. Menyapu jalan, momong anak, ada yang beli bubur ayam kelilingan. Ada pula yang duduk di depan rumah sambil medhang kopi. Kami pun selalu menyapa setiap berpapasan dengan orang.

Mereka ramah sekali dan balik menimpali ketika disapa. Khas orang desa yang masih mengutamakan tegur sapa ketika bertemu dengan setiap orang. Menjaga persaudaraan antarumat manusia. 

Usai melewati kampung Kalicupak, melintasi jalan yang membelah areal persawahan lagi. Kali ini sudah masuk Desa Petir. Kami sengaja menghindari jalan alternatif yang menghubungkan Sokaraja - Purbalingga lewat Jembatan Linggamas. Jalan alternatif itu sudah ramai sekali. Banyak lalu lalang kendaraan sepeda motor dan mobil.

Kami lanjut lagi mengayuh pedal sepeda. Sesekali Qasdina minta lewat jalan setapak. Jalan asyik tapi sempit. Bisa untuk sepeda santai. Setelah melewati jalan setapak, kami bertiga mampir di Pasar Petir. Pasar tradisional ini merupakan pasar desa.

Pasar ini paling ramai setiap Minggu. Para pedagang tumpah sampai ke halaman pasar. Ada yang jual jajanan makanan olahan, seperti cilok, milor (mi telor), maklor (makaroni telor), bapeda, dan masih banyak pula jajanan anak. Ada pula yang jualan aneka mainan anak. Berbagai aksesori anak-anak lengkap dijual di pasar itu.      

Namun, dari sekian jajanan itu kami memilih jajanan tradisional. Jajanan tradisional ini seperti cenil, intil, nasi oyek, randa kirab (makanan yang dibuat dari singkong dicampur gula jawa), ketan dan masih banyak jenis jajanan tradisional lain.

Pasar ini menjadi alternatif berwisata kuliner tradisional setiap Ahad pagi. Bagi pengunjung yang ingin menikmati jajanan pasar, tentu harus harus datang hari Ahad. Selain Ahad, tidak ada jajanan tradisional, juga jajanan anak. Aktivitas jual beli hanya sayuran, bumbu dapur, serta nasi rames dan gorengan.

Lantaran hanya berjualan tiap Ahad saja, warga yang membeli jajanan tradisional cukup banyak. Harus antre. Pernah kami mengantre hingga hampir satu jam. 

Kami sengaja membeli jajanan tradisional selain karena suka, juga untuk mengenalkan jajanan tradisional kepada anak. Anak bisa menjadi tahu bahwa di Banyumas memiliki banyak aneka jajanan tradisional. "Aku paling suka puli ketan," cetus Qasdina.

Kini kami mulai membiasakan diri. Setiap Ahad bersepeda berkeliling desa. Selain untuk alternatif berolahraga menyenangkan. Bersepeda bareng anak istri juga semakin mengakrabkan hubungan di lingkungan keluarga. Menyengkan. Apalagi kini sudah masuk akhir pekan. Ayo siapkan sepedamu. Mari bersepeda menikmati kesejukan alam pedesaan. (Puji Purwanto)  




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biaya Hidup di Purwokerto Makin Tinggi (2)

Kemudahan Akses Informasi Mendorong Ekonomi Nasional

Galeri Kemeriahan Memperingati HUT RI ke - 70