Buruh Pabrik Masih Tertindas

KEBERADAAN sejumlah perusahaan rambut palsu dan bulu mata palsu di Kabupaten Purbalingga harus diakui memberi banyak manfaat. Terutama membuka lapangan kerja besar-besaran untuk kaum perempuan. Sebab pekerjaan di perusahaan milik PMA dan PMDN ini mampu menyerap angka pengangguran sangat besar.

Namun, perekrutan itu tidak diimbangi dengan penghasilan yang layak. Sebagian warga yang bekerja di plasma dan rumah hanya di beri upah Rp 200-400 per buah dari produksi yang dihasilkan.

Seperti yang dialami seorang warga di Kecamatan Kutasari, Ningsih misalnya. Saat disambangi di rumahnya, Sabtu (13/2) lalau, ia sedang menyelesaikan pekerjaannya menggunting per helai rambut bulu mata ukuran pendek.

Sepintas pekerjaan yang dilakoni memang terlihat mudah, karena hanya bermodalkan gunting saja. Namun, bila dilihat secara detail, pekerjaan ini cukup rumit dan membosankan.

Dara usia 12 tahun itu mengaku sudah melakoni pekerjaan sampingan di rumah sejak tiga bulan lalu. Sistem upah yang diberikan kepada pekerja informal ini adalah borongan. Dimana upah disesuaikan dengan produksi yang dihasilkan.

Di bagian menggunting bulu mata misalnya, upah per buahnya dihargai Rp 200. Sedangkan bagian memasang rambut per buahnya Rp 400. Begitu seterusnya sampai pada pembungkusan.

Perempuan yang bekerja di informal ini, harus rela bolak balik mengantar hasil produksinya ke pengepul. Hasil produksi yang sudah dikirim ke pengepul akan dicatat, dan diungkan seminggu sekali.

Rata-rata per hari perempuan itu hanya mampu menghasilkan produksi bulu mata berkisar 20 buah. Dalam seminggu dirinya mampu memproduksi sekitar 140 buah, atau bisa menerima upah Rp 28.000.

"Kalau hasilnya banyak, otomatis upahnya juga bertambah besar," cetus perempuan tamatan sekolah dasar ini.

Namun, bagi mereka yang memiliki pengalaman terbatas harus puas dengan hasil produksi sedikit. Karena mereka hanya mendapat pengalaman dari pengalaman rekan kerjanya. Atau paling tidak mereka harus belajar sendiri menguasai pekerjaannya.

Tak ayal, bila pekerjaan sampingan ini hasilnya tidak menentu. Disamping itu, pekerjaan di informal ini tidak ada jaminan kerja. Seperti jaminan kesehatan, uang makan maupun transport. Tapi, celakanya bila mereka tidak becus dalam bekerja atau melakukan kesalahan mereka langsung dapat semprot oleh pengepul. Mereka bahkan bisa tidak dipercaya untuk bekerja produksi bulu mata.

Padahal, pekerjaan yang membutuhkan keuletan dan ketelitian ini rentan merusak mata. Mereka harus menggunting rambut dengan jarak kurang dari sepuluh centimeter antara rambut palsu dengan mata. "Makanya kalau berhenti sejenak mata saya sering kunang-kunang," tutur perempuan yang memakai jilbab warna merah jambu ini.

Desi, seorang buruh di Kecamatan Karangreja menambahkan, kalau jatuh sakit tidak ada asuransi kesehatan. Mereka harus berobat ke medis dengan menggocek kantongnya sendiri. "Nek lara ya tuku obat dewek," cetus ibu satu anak ini.

Mereka mengharapkan, meski bekerja di informal namun seharusnya mereka mendapatkan jaminan kesehatan, uang transpor maupun makan. Sebab, pekerjaan yang dilakoni sama-sama memproduksi rambut.

"Perbedaannya kan karena kami bekerja di rumah, dan mereka di pabrik. Tapi kami tidak dapat pelayanan kesehatan," tuturnya.

Pengawas Tenaga Kerja Dinsosnakertrans Purbalingga, Samsuri mengakui bila pekerjaan di informal itu sulit mendapatkan jaminan kesehatan. Sebab, mereka bekerja bukan dibawah perusahaan rambut palsu, tapi pengepul.

"Jadi perusahaan tidak menanggung risiko kerja atau jaminan kerja. Dalam hal yang bertanggungjawab adalah pengepul," beber dia.

Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kabupaten Purbalingga Supono Adi Warsito menilai, keberadaan perusahaan asing itu hanya berorientasi pada profit semata, tanpa memandang rasa kemanusiaan.

Peraturan yang selama ini berjalan, kata dia, masih menguntungkan perusahaan. Buruh hanya peras perusahaan untuk menutup target produksi yang telah ditentukan. Mereka banyak yang stress akibat tekanan kerja tersebut.

"Bahkan ada satu pekerja dari Kecamatan Kutasari yang meninggal, setelah sebelumnya pingsan di perusahaan. Ini yang namanya penindasan kepada kaum buruh," kata dia tidak menjelaskan siapa nama korban tersebut.

Dia menambahkan, perusahaan asing masih banyak yang tidak memberikan upah sesuai UMK. Buruh yang mendapat upah sesuai UMK, bilamana mereka menambah jam lembur.
Padahal, menurut aturan yang ada, perusahaan harus sanggup membayar buruh sesuai UMK yang ditentukan.

Tidak meratanya standarisasi UMK memperlihatkan nilai jual masyarakat Purbalingga tidak menjangkau kebutuhan. Sebab, perekonomian warga tidak berjalan lancar. "Kie pada bae asu gede menang keraeh," tuturnya dengan logat Banyumasan.

Parahnya lagi, Pemkab terkesan adem ayem melihat fenomena tersebut. Pemkab belum bertindak untuk memberikan sanksi kepada perusahaan yang memberikan upah dibawah UMK. "Pemkab seolah kurang memperhatikan nasib buruh Purbalingga," cetus Supono.

Harus Tegas

Disamping itu, terserapnya ribuan kaum perempuan juga membawa dampak bagi munculnya fenomena baru. Terutama sepuluh tahun ke belakang dimana ditandai dengan banyaknya keluarga yang ditinggal oleh kaum ibu karena terkonsentrasi bekerja di pabrik.

Seperti Minggu (12/2) di depan salah satu pabrik di area jalan A Yani Purbalingga. Larikan motor berkumpul di tengah gerimis yang ada dan semuanya kaum laki-laki. Mereka adalah para suami dan keluarga buruh perempuan yang akan menjemput istri serta saudara mereka. Bahkan mereka ada yang membawa anaknya demi menjemput sang ibu.

"Sudah dua tahun istri saya kerja disini. Mestinya jam lima lebih sepuluh sudah keluar. Tapi setengah enam belum keluar," tutur Andi, bukan nama sebenarnya.

Bersama putranya yang masih kecil, ia tampak setia menunggu meski gerimis hadir. Maklum, istrinya pasti capai setelah seharian bekerja. Apalagi ia juga menyumbang penghasilan tidak sedikit untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Ia mengungkapkan kondisi istrinya yang semakin kurus karena terlalu diforsir dengan pekerjaannya di perusahaan pabrik itu. Selain itu, anaknya juga kurang diperhatikan terutama pendidikan anak. Sebagian anak-anak mereka diserahkan ke nenek dan kakeknya.

"Saya sebenarnya ingin istri saya keluar. Tapi dia tidak mau. Khawatir juga dengan pendidikan anak," ungkap Anton, bukan nama sebenarnya, asal Klampok yang anaknya kini berusia tiga tahun.

Bagimanapun, kata dia, kasih sayang yang diberikan seorang ibu itu berbeda dengan sang ayah maupun kakek dan neneknya."Saya minta dia berdagang saja di rumah tapi tidak mau," kata Anton.

Ancaman terhadap kurangnya pendidikan keluarga untuk generasi mendatang harus diakui adalah implikasi kesekian kalinya akibat kebijakan menuju industralisasi yang sekarang digelar. Tidak hanya fenomena ditangani oleh kakek dan neneknya, sekarang ini muncul fenomena justru sang istri yang bekerja. Sedangkan suami justru ada di rumah untuk menangani anaknya.

"Efeknya generasi mendatang adalah generasi kurang kasih sayang karena mendapat belaian kasih sayang ibu yang minim," tutur Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) KH Muzni Tanwir.

Baginya, posisi seorang kakek atau nenek terbatas kemampuanya dalam mendidik anak. Termasuk juga melalui sang bapak yang kini diindikasikan justru di rumah. sementara sang istri yang mencari nafkah. Baginya, tetap saja berbeda antara penanganan yang diberikan oleh seorang Ibu dan seorang ayah.

Apalagi kalau Minggu sang Ibu juga bekerja. Ini bisa menciptakan kerawanan sebab bekerja menjadi seperti robot/mesin. Sehingga justru keluarga menjaadi tidak kebagian.

"Termasuk dalam mendidik anak. Kurangnya belaian kasih sayang ibu akan membuat anaknya nanti keras sebab selembut apapun beda antara ibu dan bapak dalam mengasuh anak." tuturnya.

Bagi Muzni, munculnya banyak persoalan di tengah kehadiran berbagai perusahaan asing harus benar-benar serius ditangani. Baginya,jangan sampai pro investasi hanya dipahami sebagai bentuk keberhasilan. Namun juga membawa berbagai persoalan yang harus ditangani agar tidak kebablasan.

Termasuk munculnya perlakuan tidak manusiawi kepada buruh-buruh pabrik. Itu persoalan serius dan harus teratasi.

"Tidak ada aturan jam lembur, tapi kenyataanya ada. Itu berarti pelanggaran aturan perburuhan. Kasihan. orang kita manut saja," kritiknya.

Baginya, perlu ketegasan pemerintah dalam menerapkan aturan agar buruh terasa nyaman hak-hak manusiawinya. Merekaa jangan diperlakukaan sewenang-wenang. Termasuk dengan sistem target yang sangat memberatkan.

"Bukan berari mengendurkan etos kerja. Tapi kemampuan orang tidak sama. Mereka tidak mau tahu ada dampak negatif pada pekerja yang penting target terpenuhi," ucap Muzni.

Ia juga mengkritik keras perusahaan asing yang tidak menyediakan fasilitas ibadah secara proporsional dengan jumlah buruh. Termasuk keluhan tentang sulitnya buruh dalam beribadah di pabrik harus segera direspon.

"Saya sendiri sudah pernah langsung meninjau lapangan dan dari dari pengelola pabrik disediakan tempat ibadah yang tidak memadai. Investor bangga tapi harus proporsional dengan akhirat. tidak boleh duniawi saja," kritiknya.

Ia meminta pada Pemkab agar kebijakan pro investasi yang berorientasi ke kebutuhan materi harus diseimbangkan dengan kebutuhan rohani dari para pekerja pabrik. Baginya, kebijakan pro investasi harus diapresiasi. Namun menjadi tidak benar kalau justru lebih condong ke materialistik.

Sebenrnya, tegas Muzni, orang asing itu mau, kalau pemerintah menerapkan aturan untuk memenuhi kebutuhan spiritual buruh. Dan dibutuhkan keberanian dari pemerintah kepada pemilik perusahaan asing itu.

"Masa kita manut saja ke asing. Dengan kondisi buruh yang sangat memprihatinkan kita harus berpihak pada buruh. Jangan hanya jadi sapi perahan," tegasnya.

Ia juga berharap ke depan investasi asing tidak hanya mengandalkan pengusaha asing terus menerus. Namun dengan menumbuhkan pengusaha lokal yang bisa memberi lapangan kerja. Karena dengan mengandalkan pengusaha asing, maka orang Purbalingga akan jadi buruh selamanya pada mereka. Dan tidak bisa jadi tuan di tanahnya sendiri.

"Ekstrimnya kita terjajah. selamanya dalam hal ekonomi. Kapan kita mandiri. Sedih kita tidak bisa mandiri karena ketergantungan terus ke pihak asing," kritiknya.

Sementara itu Ketua Nahdatul Ulama (NU) KH Ahmad Khotib mengatakan orang asing memang memandang manusia sebagai alat produksi. Karena sebagai alat produksi maka itu harus dimanfaatkan agar menghasilkan keuntungan semaksimal mungkin.

Ia mengkritik jika hak asasi beragama buruh pabrik untuk beribadah tidak difasilitasi oleh perusahaan asing yang ada. Sementara yang dikejar hanya target ekonomi semata oleh pemilik pabrik.

"Ini pelanggaran HAM. Hak beragama itu hak sangat asasi Target ekonomi itu harus terpenuhi tapi harus dipahamkan bahwa mereka punya hak beragama," katanya.

Ia menegaskan, keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang menampung ribuaan tenaga kerja tidak boleh menghilangkan yang ia istilahkan sebagai 'Manisan' atau iman, islam dan ikhsan. Karena itu ia berharap, pemerintah dan serikat pekerja mestinya memfasilitasi agar kepentingan buruh tidak dirugikan. Termasuk jangan sampai 'Manisan' hilang pada buruh.

"Buruh-buruh itu bagian dari kita. Manisan mereka harus terjaga. Bagaimana 'manisan' nya jejeg, kalau tidak difasilitasi. saatnya sholat dan mengabdi pada keluarga harus terjaga," kritik Khotib.

Karena itu ia minta pemerintah melalui Dinsosnakertrans harus mengawasi berjalan tidak manisan ini. Baginya sholat adalah hak asasi yang harus ditegakan. Karena itu harus disediakan fasilitas yang memadai untuk ibadah buruh pabrik. "Sholat tidak harus di mushala. Tapi menjamin ada tempatnya," ucap Khotib. (***)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biaya Hidup di Purwokerto Makin Tinggi (2)

Kemudahan Akses Informasi Mendorong Ekonomi Nasional

Galeri Kemeriahan Memperingati HUT RI ke - 70