Miskin Menjadi Kawan Hidupnya



KEINDAHAN dan kemewahan alam dunia ini tampak gelap. Bahkan, Yu Sarmi tidak mampu melihat kecantikan wajahnya sendiri dikala masih usia belia. Sehari-harinya, ia hanya mengandalkan mata hati untuk berjalan dan beraktivitas di lingkungan desa mencari nafkah dengan mengais daun cengkih.

Wanita usia sekitar 35 tahun itu sudah mengalami kebutaan sejak usia masih kecil. Kata Yu Sarmi, saat kecil ia kerap mengalami sakit panas hingga menyebabkan kebutaan. Namun, sayangnya ia tidak bisa menjelaskan jenis penyakit yang dialaminya sewaktu usia balita.

Kendati demikian, ia ikhlas dengan kondisi dirinya sebagai penyandang wanita tunanetra. Warga Grumbul Karangdadap RT 8 RW 2 Desa Watu Agung, Kecamatan Tambak, Banyumas itu juga tidak putus asa untuk melakukan aktivitas sehari-harinya untuk membantu orang tuanya di rumah. Ia tidak mengenyam pendidikan sekolah dasar karena terbentur biaya maupun alasan jarak sekolah dari rumahnya sangat jauh. 

Di rumah, saat itu ia tinggal bersama kedua orang tuanya. Namun, setelah menginjak usia dewasa bapaknya Sarmi meninggal dunia karena sakit. Kondisi ini membuat ekonomi keluarga semakin sulit, apalagi di rumah itu tidak ada kepala keluarga yang menghidupi keluarga. 

Makin tragisnya, sekitar tahun 1998 ibunya menyusul bapaknya ke alam baka. Kehidupannya makin tak terurus. Hanya kepada kakaknya perempuannya, Sariem ia bisa berlindung. Namun, karena kakaknya sudah berkeluarga sehingga perhatiannya pun terpecah. Apalagi keluarga Sariem bukan merupakan keluarga yang berkecukupan.

Menurut Ketua RT 8 RW 2 Desa Watu Agung, Sumardi, Yu Sarmi kerap tinggal di tempat saudaranya. Terakhir, ia tinggal di salah satu saudaranya di Banjarnegara. Kemudian ia pulang kampung dan dikaruniai anak perempuan, bernama Ratnasari dan hidup di rumah kakaknya.

Sarmi hidup miskin. Ia juga tidak memiliki pekerjaan. Padahal, harus berjuang menghidupi anak semata wayangnya sendirian. Oleh warga di lingkungan RT 8 RW 2 dan bantuan dari pemerintah desa, Sarmi dibuatkan rumah semi permanen dengan ukuran 3 x 3,5 meter persegi. Untuk air minum diambilkan dari pamsimas desa gratis dan lampu rumah dibantu oleh tetangga.

Pemungut Kleang

Dari sini, Sarmi mulai melakukan petualangan untuk mencoba membuat lembaran baru dengan kehidupan barunya bersama anaknya yang kini sudah berusia delapan tahun. Selama bertahun-tahun hidup berdua, Sarmi hanya mengandalkan makan dan biaya hidup keluarga dari hasil memungut kleang atau mencari daun cengkih kering yang ada di perkebunan sekitar rumah. 

Untuk mengumpulkan daun cengkih kering menggunakan kantong plastik, Sarmi hanya mengandalkan indera penciuman agar bisa memilah antara daun cengkih dengan daun-daun lainya. Satu per satu daun kian terkumpul.

Dalam sehari, paling banter ia mampu mengumpulkan tiga kilogram. Daun cengkih kering hasil pungutannya itu dijual ke pengepul yang jaraknya sekitar 500 meter dari rumahnya. Satu kilogram dijual seharga Rp 1.500. Berarti setiap hari penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 4.500.

"Tapi sekarang rontokan daun cengkihnya sedikit, jadi hasil pungutannya juga sedikit. Untuk mencukupi makan, saya sehari-hari diberi makan oleh tetangga," kata Sarmi yang menggunakan pakaian hijau lengan panjang itu. 

Uang hasil penjualan daun cengkih kering ke pengepul disisihkan untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk uang jajan sekolah anaknya yang kini duduk di bangku kelas dua sekolah dasar.

Penghasilan yang jauh dari cukup dan hanya mengandalkan belas kasih tetangga, tentu membuat rumah semi permanen berlantai tanah yang ia tinggali semakin tak terurus karena tidak pernah diperbaiki. 

Rumah hasil swadaya warga kini atapnya sudah banyak yang bocor karena kejatuhan benda seperti ranting pohon, sementara dinding terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan sebagian triplek yang sudah keropos dan bolong-bolong. 

Rumah mini yang hampir roboh itu lebih bagus dibandingkan barak proyek. Di dalam rumah pada ruang depan hanya terdapat satu dipan yang sudah reyot, sedangkan di ruang belakang terdapat satu dipan yang biasa untuk tidur Sarmi dengan anaknya, Ratnasari dan dapur yang menyatu dengan kamar tanpa dinding penyekat. 

Menurut Sarmi, di rumahnya setiap musim penghujan selalu bocor. Air hujan kerap masuk ke dalam rumah. Semiril angin malam di tengah hutan pinus dan cengkeh juga selalu menembus dinding ayaman bambu itu. "Kalau malam dingin, kalau hujan basah. Tapi ini sudah bisa buat kami," tuturnya didampingi Ratnasari yang menggendong kucing hitam. 

Dengan segala keterbatasan untuk memperjuangkan hidup di atas kemampuannya, Sarmi berharap anak semata wayangnya menjadi anak perempuan pintar dan memiliki kehidupan yang baik saat beranjak dewasa nanti. 


Sarmi enggan anaknya bernasib seperti dirinya, yakni tidak mengenyam pendidikan dan tidak memiliki pekerjaan pasti. Makanya, ia terus bekerja keras mencari daun cengkih kering agar kebutuhan biaya operasional sekolah anaknya tercukupi. 

"Uang SPP dan seragam sekolah sudah ditanggung sekolah. Saya hanya mencari rezeki untuk uang saku anak. Saya berharap Ratnasari bisa menjadi anak yang berguna bagi keluarga dan nantinya nasibnya bisa lebih baik dari saya," ucapnya. 

Meski kebutuhan hidup yang ditanggung terasa berat, namun Sarmi tetap terlihat tegar menghadapi kondisi yang dialaminya selama ini. Sarmi merasa sudah berkawan akrab dengan kemiskinannya. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biaya Hidup di Purwokerto Makin Tinggi (2)

Kemudahan Akses Informasi Mendorong Ekonomi Nasional

Galeri Kemeriahan Memperingati HUT RI ke - 70