Sepenggal Kisah Pemungut Gabah


MENGAIS GABAH : Warga Desa Karangbawang, Ajibarang mengais gabah dari sisa panen

- Mempertahankan 'Lumbung' Padi Keluarga



PEREMPUAN renta itu tampak sempoyongan berjalan di pematang sawah sambil menggendong plastik karung beras berisi gabah basah sekitar tiga kilogram. Gabah tersebut hasil pungutannya di lahan sawah milik orang lain yang sudah di panen. 

Sesekali ia menghentikan perjalanan pulangnya karena terlalu kelelahan. Sambil menghela nafas dan duduk di tempat teduh di pematang sawah, ia menunggu teman-teman sebayanya yang sedang memungut gabah.

Itulah kegiatan keseharian, Mbah Sinem (90) ketika areal lahan sawah di Desa Karangbawang, Kecamatan Ajibarang, Banyumas sedang memasuki musim panen padi. Ia rela berkeliling ke setiap petak sawah untuk memungut gabah bersama dengan teman-temannya yang usianya tidak berbeda jauh dengan dirinya. 

"Ini gabah grantingan (mengais gabah sisa gabah setelah dipanen oleh pemiliknya)," ucapnya saat ditemui sedang beristirahat di tepi sawah untuk memulihkan energinya setelah terkuras bekerja dan tersedot matahari, Rabu (26/6).

Pekerjaan sampingan ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Apalagi sebagian perempuan itu tidak memiliki pekerjaan tetap, bahkan umumnya sebagai pengangguran dan ibu rumah tangga. 

Biasanya, mereka bekerja mulai pukul 09.00 hingga 12.00. Selepas itu, mereka pulang ke rumahnya masing-masing dengan membawa gabah. Untuk mendapatkan hasil yang banyak, mereka pun harus telaten memungut rerumpunan sisa panenan.

"Lumayan hasilnya bisa untuk makan," kata perempuan yang hidup sebatang kara itu.  

Sambil menginang atau memakan sirih, Mbah Sinem menuturkan terpaksa memungut gabah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Apalagi di usia senja ini sudah tidak ada pekerjaan layak untuk dirinya. 

"Kalau tidak berusaha seperti ini saya tidak bisa makan. Saya tidak mau hanya mengandalkan bantuan dari orang lain," tuturnya.

Hasil pungutan sisa padi ini tidak untuk dijual ke pedagang beras, melainkan untuk persediaan pangan keluarga. Setiap kali mendapat hasil pungutan ia kumpulkan di rumahnya hingga jumlahnya banyak. Gabah tersebut dijemur selama dua hari. Setelah itu baru digiling menjadi beras dan siap dimasak menjadi nasi.

Untuk menggiling beras pun disesuaikan dengan kebutuhan. Biasanya, Mbah Silem menggiling beras sekitar tiga kilogram. Beras itu untuk konsumsi selama satu minggu. Sedangkan sisanya disimpan untuk kebutuhan pangan berikutnya.

"Hasil pungutan selama musim panen bisa untuk makan selama tiga bulan. Apalagi sehari saya hanya masak nasi satu gelas," terangnya.  

Karib Mbah Sinem, Kasem (70) juga mengemukakan mencari gabah hasil sisa panen hanya untuk bertahan hidup. Apalagi harga beras di warung-warung sekarang sudah mulai naik. "Lumayan untuk makan sendiri, dari pada membeli beras di warung sedang mahal," tuturnya.

Beras IR 64 kualitas medium di warung-warung saat ini berkisar antara Rp 7.900 - Rp 8.000 per kilogram. Harga itu untuk ukuran mereka sangatlah mahal. Karena itulah mereka rela harus berpindah-pindah tempat dari petak sawah satu ke sawah lainnya yang sedang ada panen padi di Desa Karangbawang. 

Rata-rata mereka mampu menghasilkan gabah basah antara satu sampai lima kilogram dalam beberapa jam saja. "Saya bekerja tidak ada yang mengatur. Jadi kalau sudah merasa cukup ya pulang, tapi kalau ingin hasilnya banyak harus telaten sampai sore hari," kata Mbah Sinem. 

Hampir perempuan-perempuan itu berasal dari kalangan kurang mampu. Mereka termasuk warga ekonomi lemah. Mereka hanya bisa menopang hidup keluarga dengan cara memungut sisa padi di kala musim panen datang.

"Lha wong kula thiang mbothen gadeh, ya kudu kadhos niki (Saya kan orang tidak punya, jadi harus seperti ini)," tutur Mbah Sinem. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biaya Hidup di Purwokerto Makin Tinggi (2)

Kemudahan Akses Informasi Mendorong Ekonomi Nasional

Galeri Kemeriahan Memperingati HUT RI ke - 70